Tanggal 1 April nanti mungkin akan menjadi hari yang penuh kesesakan bagi masyarakat Indonesia. Bagi Bank Dunia, tanggal itu memang sangat bersejarah lantaran pada tanggal tersebut diperingati sebagai peringatan hari Bank Dunia. Sangat kontradiktif memang menggingat satu tahun silam, tepatnya pada tanggal 1 April 2011 rezim SBY-Budiono mengeluarkan kebijakan menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi Pertamax dari Rp 8.700,00 per liter menjadi Rp 8.600,00 per liter dan Pertamax Plus dari Rp 9.150,00 per liter menjadi Rp 9.050,00 per liter. Sedangkan harga Pertamina Dex tetap Rp 10.800,00 per liter. Sedangkan nanti, pada 1 April 2012 mendatang masih dalam rezim yang sama mengambil langkah untuk menaikan harga BBM bersubsidi.
Kebijakan ini diambil lantaran naiknya harga minyak di pasar dunia. Oleh karena itu, pemerintah mengambil langkah demikian agar tidak membebani beban anggaran negara yang nantinya akan banyak keluar untuk membeli minyak di pasar dunia. Berbagai respon berupa dukungan dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, tokoh dan para elit politik pun seketika mencuat kepermukaan.
Belakangan ini, isu demikan ramai muncul di perbincangkan. Pemerintah pun nampaknya sudah mengambil keputusan yang tepat untuk menaikan harga BBM ini. Tokoh elit politik yang juga mantan ketua DPR, Akbar Tandjung beranggapan bahwa kebijakan yang di keluarkan pemerintah di rasa sebagai pilihan yang bagus. "Bila tidak dilakukan, anggaran belanja akan membengkak, kalau membengkak maka anggaran pembangunan untuk kepentingan masyarakat akan berkurang," ujarnya (Kompas, 13 Maret 2012).
Reaksi penolakan kenaikan harga BBM terlontar dari mantan anggota DPR, Permadi. "Saya mengajak mahasiswa dan pemuda turun demo besar-besaran, turun ke jalan tolak kenaikan harga BBM. Itu semua terjadi karena semakin mengakarnya penguasaan asing di negeri ini, kenaikan harga BBM mencederai kedaulatan bangsa. Kenaikan BBM juga bertentangan dengan Undang Undang Dasar 45. UUD kita menginstruksikan, bumi kekayaan alam dan seluruh isinya dipelihara negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Nah pemerintah kita sekarang lebih sering menghilangkan kalimat untuk kemakmuran rakyat. Masa kita selalu didikte oleh IMF dan Bank dunia untuk hampir semua kebijakan. Sumber energi seperti BBM adalah kebutuhan vital bagi rakyat. Saat ini Saya siap turun ke jalan.” Tegasnya dalam seminar nasional privatisasi BUMN di Makassar (okezone.com, 13 Maret 2012).
Berbagai dukungan dan penolakan terhadap kebijakan yang pemerintah pilih ini muncul menghiasi media sehari-hari. Saya sendiri melihat fenomena ini sebagai suatu hal yang wajar namun sangat tidak tepat dan sangat inkonsisten dalam mengamini Undang-Undang Dasar 45. Saya katakan wajar menginggat bahwa kenaikan ini tidak dapat dipungkiri karena memang negara ini terikat hubungan internasional dalam perdagangan minyak dunia. Oleh karena itu, ketika kesepakatan harga yang di tentukan naik di kalangan pasar dunia, maka pemerintah harus mengambil langkah yang tepat dalam menanggapi kenaikan harga ini. Tentunya dengan pertimbangan yang matang serta pembacaan dampak-dampaknya nanti yang akan muncul. Tidak tepat memang pemerintah untuk mengambil kesimpulan mengeluarkan kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi, disaat kondisi masyarakat yang masih terjerat dalam tali-tali kemiskinan yang setiap saat akan mengencang sejalan dengan permasalahan yang datang. Pendidikan yang tidak merata, hukum yang sangat lemah dan sumber daya manusia yang rendah serta permasalahan lain yang masih membututi daftar permasalahan negara ini menjadi debu yang lupa di bersihkan kembali nantinya.
Sepakat dengan Permadi, inkonsistensi yang terjadi dalam mengamini UUD 1945 rasanya telah dilakukan pemerintah. Bumi kekayaan alam dan seluruh isinya dipelihara negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat rasanya hanya menjadi kalimat hiasan dalam kitab undang-undang dasar saja. Ironisnya, Indonesia merupakan negara penghasil minyak tetapi tidak dapat memberikan kontribusi yang penuh untuk rakyatnya sendiri malah mengambil keputusan yang membuat rakyatnya terus tercekik.
Kenaikan harga BBM ini bahkan dapat berdampak pada yang lainnya. Meningkatnya harga bahan pokok makanan, produksi-produksi serta sulitnya masyarakat menengah kebawah menjangkau barang-barang yang melonjak naik menjadi sebuah masalah yang berjalan beriringan. Selain itu, jika kenaikan harga BBM ini memang menjadi satu-satunya cara agar anggaran negara tidak melonjak, apakah ada jaminan dari pemerintah sendiri untuk melakukan pembangunan negara di bidang lain yang lebih progresif? sudah tentu ini menjadi sebuah harapan bagi masyarakat banyak jikalau memang ada jaminan dari pemerintah.
Pemenuhan kebutuhan fokus untuk rakyat Indonesia seharusnya lebih didahulukan demi mengamalkan amanat dari UUD 45. Kebijakan-kebijakan yang dirasa mencekik rakyat kecil seharusnya menjadi sebuah pelajaran yang tidak boleh terulang kembali. Ini akan berdampak buruk pula bagi negara jikalau rakyat merasa jenuh dan marah dengan kebijakan-kebijakan yang di jalankan pemerintah yang terus merugikan rakyat banyak. Tindakan-tindakan anariks rakyat dapat terjadi jika kebijakan yang di ambil terus merugikan rakyat.