Sebagai refleksi untuk para calon mahasiswa
Oleh: muhammad yusuf (Ex. Siswa SMAN 5)
Mungkin anda bingung, apa maksud dan tujuan tulisan ini. Entah bagaimana pendapat anda terhadap saya sebagai penulis nantinya menyikapi bacaan ini terserah. Saya mulai dengan kata “selamat dan berbahagialah anda calon mahasiswa terlepas dari masa SMA yang ‘katanya’ penuh dengan segudang peraturan”. Mengapa demikian ? dengan segudang peraturan yang berlaku di sekolah-sekolah SMA khususnya SMA ‘Negeri’ membuat para siswanya jenuh dan bahkan terus memimpi-kan untuk cepat-cepat beranajak dari sekolah. Rambut yang tidak boleh gondrong bagi laki-laki, pelarangan memakai accesoris beragam, baju seragam yang ketat dan jangkis khususnya perempuan dan segudang peraturan lainnya menjadi sebuah belenggu siswa ketika SMA. Dan pada akhirnya timbulah pertanya-an, apa jika rambut gondrong dan accesoris beragam mempengaruhi kualitas belajar ?, hahahaha lucu ya ! itulah sebuah peraturan, kadang-kadang dibuat tidak masuk akal. Atau mungkin, ini berkaitan dengan etika dan norma yang berlaku di Indonesia.
Hem...oke mungkin anda sedang bingung sebagai pelajar SMA yang sebentar lagi me-ninggalkan bangku sekolah kemana harus meneruskan jenjang pen-didikan yang lebih tinggi lagi atau, anda sudah memantapkan hati anda memilih universitas unggulan tapi, anda ragu apakah anda bisa menjadi salah satu nama yang diterima universitas tersebut. Saya teringat ketika dulu saya diposisi anda sekarang. Tertanam dalam benak saya “saya harus masuk universitas ‘X’ ” tapi, pikirkanlah dengan bijak dan mantap mengapa anda memilih universitas tersebut, tujuan anda masuk universitas tersebut, dan seberapa besar ketertarikan anda dalam jurusan yang anda pilih tersebut hingga anda benar-benar yakin dapat masuk dalam daftar nama yang diterima universitas tersebut. Bukan saya membicarakan kapasitas kecer-dasan masing-masing individu dan meremeh-kannya. Terkadang pola pikir yang tertanam pelajar SMA yang sudah mau meninggalkan bangku sekolah, hanya pada tataran existensi universitas tersebut dan terlihat memaksa “saya harus masuk universitas X” yang bisa dibilang universitas ‘X’ ini universitas ternama atau unggulan. Memang tidak bisa kita pungkiri ‘existensi’ sebuah universitas X ini mencerminkan kualitas universitas tersebut. Namun, kita harus menengok kebelakang kembali apa yang sebelumnya saya katakan, ‘kebanyakan’ pola pikir pelajar SMA yang sudah mau meninggalkan bangku sekolah ketika memilih masuk ke perguruan tinggi hanya melihat pada identitas universitas tersebut. Tidak munafik menurut saya, karena saya pun dulu demikian.
Saya pernah membaca sedikit, mengenai ada 2 tahap sebelum manusia ‘memilih’, bersikap atau bertindak. Pertama proses melihat, mendengar, merasa, mengamati, dll. Tahap selanjutnya internalisasi di dalam dirinya lewat alam sadar atau proses pengcopyan dari hasil tahap pertama dan sejarah manusia adalah rasionalitas. Membahas tahap pertama, mungkin ini menjadi salah satu acuan ketika seseorang memilih, bersikap atau bertindak perlu adanya proses melihat, mendengar, merasa, mengamati dll. dan pada akhirnya seseorang akan percaya dan yakin ketika melihat dan mendengar dari orang lain bahwa “ini baik, ini bagus, itu keren”. Ini menjadi sebuah keniscayaan ketika seseorang sudah melewati tahap tersebut, dan pada akhirnya seseorang akan cenderung men-gikuti apa yang ia dengar, apa yang ia lihat, apa yang ia amati dll. dan dengan tegasnya mengaminkan. Tahap kedua berkaitan dengan sebelumnya, dimana tahap ini hanya sebatas pengcopyan dari tahap pertama. Saya tidak setuju dengan tahap ini, dimana internal dipaksa untuk memilih hal yang hanya disepakati (ex: norma) jika tidak, mereka akan diasingkan dengan banyak bentuk mulai dari ucapan hingga pembinasaan secara langsung. Saya setuju ketika tahap pertama dilakukan disitu ada proses dialektik dimana individu tidak hanya dipaksa untuk memilih hal yang sudah disepakati tetapi, ada proses dimana individu itu sendiri menyimpulkan sesuatu menjadi sebuah kesimpulan untuk dirinya sendiri. Sederhananya, ketika individu melihat, mengamati dan mendengar sesuatu dari orang lain akan timbul penyeleksian untuk dirinya sendiri sehingga individu tersebut dapat memilih sesuai apa yang dianggap benar oleh dirinya.
Kembali ke permasalahan awal. Individu-individu yang resah untuk memilih ini sering dikejar dengan masa depan yang menuntut untuk sukses nantinya. Padahal, sukses itu pun masih absurd dalam penafsiran-penafsiran mereka yang terlalu cepat menafsirkan sebuah kesuksesan. Proses penyeleksian hingga sampai proses pemilihan universitas oleh kalangan siswa SMA angkatan akhir terkadang hanya memenjarakan universitas yang memiliki citra baik. Padahal, universitas sendiri tidak menjamin akan kualitas individu setelah di cetak nantinya. Walapun, untuk dapat memasuki universitas yang baik atau memiliki citra bagus tentu melalui proses penyeleksian yang rumit serta butuh konsistensi. Apalagi, pernah saya temui (karena saya pernah merasakan dulu sewaktu saya diposisi seperti ini) ada sebagia siswa yang malah lebih terkonsentrasi pada universitasnya ketimbang pada jurusan yang nantinya ia jejaki. Begini kurang lebih perkataannya “jurusan apa aja lah yang gampang masuknya, yang penting universitas ‘X’”. Saya sempat heran kenapa bisa ada pikiran seperti itu. Existensi sebuah sebuah universitas memang dapat mendongkrak existensi seorang yang masuk dalam lingkup tersebut, namun demikian apakah harus seperti itu langkah yang diambil seseorang untuk memperoleh existensi diri. Langkah yang diambil ini seolah sebuah batu loncatan menuju citra yang lebih baik. Padahal, sama sekali tidak. Dan ini merupakan suatu tindakan yang saya pikir kekanak-kanakan walaupun itu merupakan suatu hak individu tersendiri dalam memilih.
Asumsi saya, pada tataran ini lebih di tekankan pada internal individu itu sendiri. Dimana individu ini setelah terdaftar dan aktif sebagai bagian dari universitas yang memiliki citra bagus dan terbaik, mampu atau tidak menjalani dan membuat diri sendirinya berdaya dalam lingkup yang ada. Terlepas dari lingkungan yang ada memang, seseorang akan menjadi berdaya ketika seseorang itu berada di lingkungan yang penuh orang-orang yang berdaya. Namun demi-kian, seseorang dapat berdaya atau mampu menjadi sesuatu yang lebih dari sebelumnya ketika dirinya mampu menjadikan dirinya ber-daya atau berbuat lebih dari sebelumnya.
Saya pun tidak menafikan bahwa dengan kita masuk dalam lingkup universitas yang memiliki citra bagus dan terbaik akan memberikan nilai lebih pada diri kita sendiri terkait dengan fasilitas yang tersedia seperti: pengajar yang professional serta unggul, buku-buku, kurikulum yang mum-puni, dan lainnya yang dapat mendukung internal individu agar dapat lebih berdaya lagi. Namun demikian, fasilitas yang tersedia tidak dapat menjamin sepenuhnya individu dapat lebih berkualitas daripada sebelumnya.
Jelas sudah argument saya terkait masalah ini bahwa, sebenarnya diri sendiri dulu yang harus punya keinginan untuk merubah diri sendiri dan mem-berdayakannya. Walaupun memang, faktor luar dapat menunjang individu agar dapat lebih berkualitas dari sebelumnya namun demikian itu tidak menjadi jaminan yang utuh. Jangan memaksa ketika kita tidak dapat memilih sesuatu dan mencapainya, kita malah menjadi seorang yang memiliki harapan besar namun demikian, tidak punya rasa keinginan untuk merubah.
Saya hanya mengharapkan kepada temen-temen agar lebih bersikap dewasa untuk memilih sesuatu dengan pertimbangan yang matang. Tulisan ini juga merupakan suatu bentuk kepedulian saya terhada temen-temen semua selaku warga SMA 5. Saya tekankan bahwa, tulisan ini merupakan suatu kritik untuk diri saya sendiri khususnya yang memang belum sempurna dan mumpuni dalam ilmu-ilmu apapun dan untuk teman-teman sekalian juga sebagai bahan refleksi kalian. Silahkan kritik tulisan saya sebagai koreksi untuk diri saya dan nantinya agar diri saya sendiri lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar