Ada kecenderungan di masyarakat kita menjadikan kekerasan sebagai
solusi untuk penyelesaian masalah. Akibat hal-hal sepele, berujung pada
saling bentrok dan saling serang hingga akhirnya menimbulkan korban
luka-luka maupun korban jiwa.
Peristiwa kekerasan di masyarakat ini, frekuensinya semakin meningkat,
baik kuantitas maupun kualitasnya. Setidaknya inilah yang diberitakan
media massa cetak maupun elektronik, belakangan ini.
Dalam kondisi seperti ini yang akan terjadi adalah kekosongan norma
yang menyebabkan tumbuhnya kekerasan untuk menyelesaikan persoalan atau
konflik antar warga masyarakat. Dalam kaitan ini, hukum rimba menjadi
panglima dan ini sungguh mengerikan.
Di sisi lain, manajemen pengelolaan konflik yang ada di masyarakat
telah lama hilang. Misalnya, mekanisme musyawarah atau mediasi untuk
penyelesaian konflik atau sengketa antar-masyarakat. Dulu di masyarakat
kita, ada lembaga-lembaga informal yang dapat memfasilitasi konflik agar
tidak berujung pada kekerasan dan kebrutalan.
Di zaman serba cepat, lembaga-lembaga formal yang memediasi konflik
telah hilang dan dilupakan oleh masyarakat yang sedang berubah cepat
ini. Kita tidak ingin kekerasan menjadi solusi penyelesaian masalah.
Jika ini yang terjadi, tentu akan membahayakan kehidupan kita dalam
berbangsa dan bernegara.
Peradaban bangsa yang luhur dan demokratis tidak mengenal kekerasan
sebagai jalan keluar menyelesaikan masalah, konflik atau sengketa
antar-warga masyarakat. Hukum yang adil dan tegak merupakan pilar untuk
membangun peradaban yang tinggi sekaligus demokratis.
Siapa pun punya hak yang sama dan berkedudukan sama di depan hukum, tak
ada pengecualian, baik ia kalangan atas maupun rakyat jelata. Oleh
karena itu, bangsa dan negara ini harus bekerja keras menjadikan hukum
sebagai panglima.
Hukum harus menjadi tegak dan berwibawa untuk mengatur ketertiban
masyarakat. Berbagai upaya yang harus diwujudkan dalam rangka membangun
hukum sebagai pilar untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara ini.
Ketika wibawa hukum tidak ada, dan yang terjadi, masyarakat tak
beraturan, dan mereka menyelesaikan masalahnya dengan caranya sendiri
dan serba instan, misalnya, melalui jalan kekerasan. Masyarakat
mengambil jalan pintas dengan main hakim sendiri karena institusi formal
yang berwenang dalam penegakan hukum lamban dan tidak sigap.
Kelambanan ini memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri hingga seringkali tidak berpatokan pada kaidah hukum
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat harus ikut
berpartisipasi dalam membangun budaya hukum yang adil dan tegas.
Diharapkan penyelesaian konflik dan sengketa harus tetap berbasis hukum
dan aturan yang berlaku bukan kekerasan. Jikalau kekerasan yang
dikedepankan ini akan menjadi mata rantai untuk menimbulkan kekerasan
baru, hal ini tidak berujung pada ketentraman dan kedamaian melainkan
kehancuran.
sumber : http://myzone.okezone.com/content/read/2012/05/23/7247/hilangkan-budaya-kekerasan-dikalangan-masyarakat-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar